Atas Nama Hiburan dan Edukasi

Saya memang tertarik dengan hewan sejak saya kecil. Beberapa kali saya pelihara kucing liar yang ada di sekitar rumah, memelihara kura-kura, ayam, hamster, tikus putih, burung, itik, ikan dan apapun yang saya temui rasanya ingin saya pelihara. 

Bila ada topeng monyet lewat, saya pasti tidak ketinggalan untuk menonton pertunjukkan itu. Tempat wisata yang paling saya suka adalah kebun binatang, tak jarang disana saya menonton sirkus atau pertunjukkan yang melibatkan hewan, yang konon katanya untuk menunjukkan kecerdasan hewan itu. Selain itu, saya juga sangat senang dengan wahana hewan tunggang. 

Akan tetapi beberapa tahun yang lalu saya menemukan fakta. Apa yang saya lihat di masa kecil saya tidak semua hal yang baik. Memelihara hewan seperti kucing liar, hamster, tikus putih mungkin baik, karena mereka adalah hewan peliharaan yang hidupnya bergantung kepada manusia. Tetapi burung rasanya tidak pantas untuk dikurung di dalam sangkar yang sempit, sedangkan dia biasa hidup di alam yang luas, bebas, lepas. Rasanya tidak manusiawi kalau kita harus merampas kebebasan mereka.

Selain itu apa yang kita lihat pada pertunjukkan topeng monyet. Sebagai anak kecil yang polos, kita hanya tahu kalau apa yang kita lihat itu lucu, pintar dan menghibur. Di sisi lain ada seekor monyet pantai yang diambil dari habitatnya untuk dipaksa bekerja demi menghidupi manusia, dilatih paksa, diikat tangan dan kakinya supaya berdiri dan patuh apa yang dikatakan tuannya, diberi makan seadanya, ada yang mengatakan hanya satu kali dalam seminggu. Tidak habis pikir saya bertanya, bagaimana bisa? Monyet itu menghidupi tuannya, dia yang bertingkah dan berperan demi menarik perhatian penonton untuk memberi mereka uang, sedangkan tuannya hanya menabuh alat musik dipinggiran dan menerima uang yang dibawa si monyet. Seharusnya monyet seperti itu diberi ‘awards’ bukan? Bukan malah disiksa hidupnya. Untungnya pada tahun 2014, gubernur Jakarta sudah melarang pertunjukkan topeng monyet di wilayah Jakarta, disusul oleh wilayah Bandung. Monyet-monyet tersebut di rehabilitas dan dikembalikan ke habitatnya. Selama proses rehabilitas diketahui bahwa monyet-monyet tersebut mengalami stress tinggi. Semua itu untuk menghidupi manusia. Ya.. Lagi-lagi manusia.

Tidak jauh berbeda dengan sirkus. Selama ini kita mengenal sirkus sebagai sarana edukasi untuk mengenal satwa. Satwa dilatih untuk melakukan hal-hal yang biasa dilakukan manusia. Apakah itu bisa mengedukasi manusia? Nyatanya itu semua hanya memaksa hewan melakukan hal-hal yang tidak alamiah, merenggut kebebasan hewan untuk tinggal di habitatnya. 

Bahkan diketahui lumba-lumba yang digunakan untuk sirkus keliling dibawa dari kota ke kota dengan cara dimasukkan ke tempat sempit yang hanya seukuran tubuh mereka, ditempatkan di air yang dangkal dan mengandung zat berbahaya, dibuat lapar agar bisa menurut, dipaksa melakukan atraksi berbahaya, semua itu hanya tindakan mengeksploitasi hewan untuk meraih keuntungan dan lagi-lagi untuk manusia. Bukankah akan lebih mengedukasi apabila anak-anak tahu kehidupan hewan sesungguhnya? Kehidupan alami mereka di alam liar, cara hidup mereka, bagaimana mereka bisa bertahan hidup. Anak-anak harus diajarkan kasih sayang kepada hewan dan lingkungan, bukan diajarkan kekerasan dan penyiksaan.

Bukan hanya itu, singa dan harimau yang dipertontonkan dan diperuntukkan berfoto bersama pengunjung rupanya ada dalam pengaruh obat bius. Mereka diberi obat bius agar tidak agresif terhadap manusia, sehingga manusia dapat berfoto, duduk di dekatnya, memegangnya layaknya hewan yang jinak. Haruskah mereka diperlakukan seperti itu demi kesenangan manusia?

Mulai saat itu saya mengajak anak-anak sekitar saya untuk tidak menonton topeng monyet lagi. Saya tetap suka pergi ke kebun binatang tetapi sekarang saya lebih selektif memilih kebun binatang. Saya hanya mengunjungi kebun binatang yang merawat hewan-hewannya dengan baik, memberikan tempat tinggal yang mirip dengan habitatnya. Saya berhenti menonton segala bentuk sirkus. Kenapa? Karena saya tidak mau mendukung mereka yang menyiksa hewan. Bukan saya tidak kasian pada hewan-hewan di tempat yang buruk itu tetapi semakin kita memberi dukungan dengan mengunjungi tempat mereka semakin banyak nantinya hewan yang akan dieksploitasi, orang-orang yang ingin meraup untung lebih banyak akan memperkerjakan hewan lebih banyak sesuai permintaan pengunjung. Dan saya memilih untuk tidak mau melihat penyiksaan yang mengatasnamakan edukasi itu lagi. 

Seekor yang Mengubah Pola Pikir

Hari demi hari Micung berada di rumahku, menemani aku sepanjang hari, semakin hari pula aku mengagumi sikapnya. Aku mulai berpikir bahwa hewan terlantar diluar sana bisa saja jadi sahabat terbaik kita, asal kita tahu darimana kita bersikap. Aku mulai memandang hewan-hewan terlantar di sekitar, kucing liar, anjing liar, mereka bisa jadi sahabat siapa saja dan bisa merubah hidup siapa saja menjadi lebih baik. Hanya saja nasib belum berpihak pada mereka. Masih sedikit orang yang menyadari keistimewaan mereka. Dan aku mulai berangan-angan, andai aku punya rezeki lebih, aku ingin memelihara mereka yang liar dan terlantar, aku ingin menambah lagi jumlah sahabat kaki empatku, ingin ku selamatkan mereka dari siksaan dari makhluk yang bernama manusia tetapi tidak punya rasa kemanusiaan, ingin aku selamatkan mereka dari rasa lapar dan dingin. Saat ini memang aku belum bisa berbuat banyak. Yang baru bisa kulakukan hanyalah memberi mereka yang kutemui dijalanan makanan yang selalu kubawa kemana-mana.

Aku mulai mencari tahu tentang shelter yang menampung hewan terlantar. Kira-kira seperti itulah cita-citaku, ingin aku dirikan sebuah shelter untuk berlindung hewan2 terlantar. Hewan-hewan sahabat manusia. Aku lihat mereka berkampanye “adopt, don‘t shop!” dan aku memahami betapa banyak orang yang mampu membeli hewan ras berharga mahal, dari mulai ratusan ribu sampai jutaan bahkan puluhan juta. Mereka bangga2kan peliharaan mereka yang berharga fantastis itu. Tetapi di sisi lain, di sekitar kita masih banyak hewan yang terlantar, kelaparan, homeless, mencari sisa makanan kesana kemari, tak jarang mendapat perlakuan kasar dari manusia. Apakah orang2 itu bisa dipanggil animal lovers ? Seperti mereka menyebut dirinya begitu. 

Aku melihat hewan2 yang direscue. Beberapa kondisi sangat memprihatinkan. Anjing yang mulutnya dibacok oleh parang, anjing yang kaki depannya dipotong, kucing yang diberi karet gelang dilehernya sampai menekan pembuluh darahnya lalu meninggalkan luka busuk. Ya Tuhan… Jenis manusia seperti apakah itu yang mampu berlaku kasar pada makhluk yang tidak berdaya. Mereka hanya butuh makan, butuh tempat berlindung dari panas dan hujan, itu saja. Bukankah manusia adalah makhluk yang paling sempurna dan diberi akal? Mengapa mereka bisa bertindak sangat tak berakal? Bukan hanya manusia yang boleh hidup di atas bumi Tuhan ini. Bukankah manusia ditunjuk Tuhan sebagai pemimpin di muka bumi? Pemimpin macam apakah yang bertindak semena2 kepada mereka yang lemah? Kita juga tidak mau bukan apabila di dalam pemerintahan sebuah negara ada pemimpin yang seperti itu? Tuhan menciptakan hewan dengan segala manfaat dan tujuannya, tidak ada satupun hewan yang diciptakan untuk disiksa oleh manusia. Dalam ilmu biologi ada yang dinamakan “rantai makanan”, apakah mereka lupa apabila salah satu rantai itu hilang dampak apa yang akan terjadi untuk manusia?

Pemikiran seperti itu terlahir karena satu makhluk Tuhan yang tiba-tiba datang dihidupku, menemaniku dengan kesetiaannya, dan membuatku kagum dengan segala keikhlasannya. Makhluk berbulu emas dan berkaki empat yang merubahku menjadi seseorang yang lebih peka terhadap makhluk sekitarku dan menyadarkanku akan keberadaan ciptaan Tuhan di bumi ini selain manusia. Ciptaan Tuhan yang harus kita jaga dan lestarikan. Sebagaimana Tuhan menitipkan semua itu pada kepemimpinan manusia di bumi ini. Menyadarkanku bahwa hidup ini berdampingan, kita tidak bisa memaksakan diri untuk menjadikan bumi ini milik manusia semata. Ada ekosistem yang harus kita rawat sebagai habitat hewan liar. 

Dan aku semakin mengerti semua itu karena makhluk yang kupanggil Micung.

Pertemuan Pertama

Namanya Micung, bulunya keemasan, telinga sebelah kanan runcing ke atas sedangkan yang kiri jatuh ke bawah , badannya tidak setinggi ras Golden Retrievers tapi tidak sependek Corgi juga, matanya coklat dengan garis hitam di kelopaknya seperti memakai eyeliner.

Sudah 4 tahun aku hidup bersamanya. Awalnya dia ditemukan oleh Om ku di sebuah tempat makan pinggiran. Menurut penjual disana, anjing ini sering meminta sisa makanan di tempatnya. Anjing ini dulunya milik orang berkebangsaan Korea yang tinggal di sekitar tempat makan itu, tapi pemilik anjing ini pulang ke negaranya tanpa membawa serta anjing ini. Hidup Anjing ini kemudian lontang lantung, mencari sisa makanan di jalanan, tidur di depan bekas rumahnya.

Om ku akhirnya memutuskan untuk membawa anjing ini ke rumah. Sampai di rumah, anjing ini tidak disambut gembira oleh anjing di rumahku yang dulu, namanya Xena, jenis Pitbull, warnanya putih, badannya seperti kambing. Xena tinggal di lantai 2 rumahku, dia tidak bisa turun melewati tangga. Karena kami takut anjing baru ini naik ke lantai atas dan bertemu Xena, akhirnya kita tempatkan dia di kandang depan rumah yang cukup besar untuknya. Sedangkan aku, aku sama sekali tidak tertarik untuk memelihara hewan apapun, karena merasa tidak mampu untuk merawatnya dan tidak mau ditinggalkan mati oleh hewan yang aku pelihara. Kami tinggalkan anjing ini di kandang dan kami pun pergi ke rumah kakek kami yang berjarak kira-kira 50m dari rumah kami. Tak lama kami berada di rumah kakek kami, ibuku akhirnya mengajak kami pulang. Di jalan pulang kami melihat seorang tukang ojeg membawa sebuah karung, tetapi ada yang aneh dengan karung itu, isi karung itu terlihat bergerak-gerak. Ibuku akhirnya menanyakan apa yang ada di dalam karung itu, si tukang ojeg menjawab bukan apa2. Ibuku yang curiga akhirnya memaksa tukang ojeg itu membuka karung yang dibawanya. Dan ternyata, “ASTAGA….!!” di dalam karung itu ada anjing kami, anjing yang baru saja om ku bawa ke rumah dan kami tempatkan di kandang depan. Akhirnya kami membawa pulang kembali anjing kami itu. Kami tempatkan anjing itu di dalam rumah, besoknya kami pasang pagar di tangga agar anjing ini tidak naik ke atas dan bertemu Xena.

Foto-foto Micung di dalam kandangnya saat pertama kali datang ke rumah.

Micung kami menamai anjing ini.

Beberapa hari di rumah, anjing ini sangat penurut. Punya sopan santun. Dia tidak berani masuk ke ruangan manapun sebelum ada yang memperbole8hkannya. Disiplinnya tinggi. Makan pun tidak mau kalau tidak ada yang memperbolehkan. Akhirnya kami meledeknya dengan kata anjing micung, (micung dalam basa sunda artinya diam, kaget) dan kami terbiasa dengan panggilan micung padanya. Bukan nama yang bagus memang, tapi lahir dari kebiasaan kami memanggilnya.

Micung mengikuti kemanapun om ku pergi, ke kamar, ruang tamu, nonton tv sampai ke toilet. Om ku bekerja sebagai polisi, dia jarang ada di rumah, Micung pun bingung tidak tahu siapa yang harus dia ikuti bila om ku tidak ada.

Suatu hari aku mendapat panggilan psikotest dan interview kerja. Karena proses psikotest dari pagi hingga petang, aku mendapat jatah makan siang waktu itu, tapi aku merasa belum lapar. Akhirnya jatah makan siangku aku simpan dan aku bawa lagi ke rumah. Di rumah aku disambut gembira oleh Micung, hanya oleh Micung waktu itu tidak ada siapa2 lagi di rumahku. Aku menelpon ibuku, aku tanya mamaku ternyata belum pulang dari pekerjaannya aku tanyakan juga apa micung sudah makan? Ibuku bilang dia tidak sempat memberi Micung makan. Aku kasian sekali pada Micung yang belum makan seharian itu, akhirnya ku berikan jatah makan siang yang aku bawa tadi, aku berikan semua untuk Micung dan dia memakannya lahap. Semenjak itu, Micung mengikutiku kemana aku pergi, menungguku di sudut pintu bila aku pergi keluar rumah. Dari situlah persahabatan kami dimulai, dari sebuah nasi kotak yang aku berikan dan dia memberikanku kesetiaan yang tidak berakhir sampai detik ini.

 

First Letters

Halo semua, sebelum saya memulai semua tulisan, ini tulisan pertama saya..

Nama saya bunga, umur saya 28 tahun ini. Dulu saya kuliah di Universitas Padjajaran dan mengambil jurusan Sastra Perancis. Sekarang saya tinggal dengan satu ekor anjing yang saya rescue dari jalanan 4 tahun lalu. Anjing berbulu emas, telinga runcing dan berbobot 15-20kg.

Ok jujur aja saya masih belajar menulis, disini saya akan menulis tentang segala hal yang saya ingin tulis, mudah2an tulisan-tulisan saya ini dapat bermanfaat bagi pembaca. •>•